SURABAYA – Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin memberikan orasi dalam Sidang Terbuka Peringatan Dies Natalis ke-68 Universitas Airlangga (UNAIR) pada Rabu (09/11/2022) di Aula Garuda Mukti, Kampus Merr (C) Universitas Airlangga (UNAIR).
Dalam orasinya, Budi menyampaikan pentingnya melakukan transformasi kesehatan untuk pembangunan negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia mengajak UNAIR untuk turut andil dalam mewujudkan transformasi kesehatan, khususnya dalam bidang layanan rujukan dan SDM kesehatan.
“Saya mau minta tolong untuk mereformasi dua poin itu (layanan rujukan dan SDM kesehatan, Red). Saya tidak bisa lakukan ini secara eksklusif, saya harus melakukan ini secara inklusif karena dua hal ini harus dilakukan bersama-sama, ” ucapnya.
Transformasi Layanan Rujukan
Baca juga:
Tiga Pilar Simokerto Asesmen Wilayah Binaan
|
Budi menuturkan, penyebaran rumah sakit di Indonesia dengan akses layanan untuk penyakit katastrofik belumlah merata. Sedangkan, penyebab kematian tertinggi di Indonesia disebabkan oleh penyakit katastrofik seperti jantung, kanker, stroke, dan ginjal.
Terbukti, saat ini Indonesia hanya memiliki 40 rumah sakit yang dapat melayani cathlab dan 10 rumah sakit yang dapat melayani bedah jantung terbuka. Belum lagi, pusat layanan kesehatan yang sedikit menyebabkan antrian yang panjang sehingga penanganan menjadi terhambat.
“Ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang Indonesia menderita karena kita tidak bisa menyediakan fasilitas kesehatan yang baik bagi mereka. Ini cukup mengerikan karena tidak ada orang yang mengekspos kenyataan ini. Hal itu yang menyebabkan saya datang ke sini. Kita harus menyelamatkan hidup banyak orang, ” tuturnya.
Ia berharap, pada tahun 2024, pemerintah dapat meningkatkan layanan kualitas rumah sakit di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia agar dapat memasuki level utama. Sehingga, seluruh rumah sakit di Indonesia dapat melakukan intervensi non bedah dan layanan cathlab serta memiliki dokter spesialis yang memadai. Lebih dari itu, ia juga berharap seluruh rumah sakit provinsi dapat melakukan layanan operasi terbuka dan radioterapi.
Transformasi SDM Kesehatan
Selain persoalan layanan rujukan, Budi juga mengungkapkan bahwa jumlah dokter spesialis di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Hal tersebut disebabkan karena aturan pemerintah hanya mengizinkan setiap rumah sakit umum daerah memiliki 9 dokter spesialis.
“Kalau kita ingin menyelamatkan generasi muda, bukan uangnya yang kita butuhkan, tetapi spesialisnya yang kita butuhkan. Banyak orang Indonesia menderita karena kita tidak memiliki banyak spesialis. The gap is huge dan ini standar rumah sakit umum daerah saat ini, ” jelasnya.
Jika negara ini ingin memiliki pendidikan spesialis lebih banyak, maka hal yang harus dilakukan adalah mengubah aturan kapasitas rumah sakit untuk menambah lahan bagi dokter spesialis. Dengan begitu, rumah sakit di Indonesia dapat memproduksi lebih banyak dokter spesialis.
“Saya butuh bantuan Anda untuk bisa memperbanyak dan mengakselerasi produksi dokter spesialis. Karena kita harus menyediakan standar layanan kesehatan yang baik, khususnya untuk penyakit yang menyebabkan banyak kematian. Saya sangat percaya, kekayaan yang sesungguhnya adalah kesehatan, ” pungkasnya. (*)
Penulis: Rafli Noer Khairam
Editor: Binti Q. Masruroh